Jawa Barat.
Jira.oneNews.co.id -Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut tren bencana alam di Indonesia meningkat di tengah suhu rata-rata dunia yang terus naik.
Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto mengungkapkan perubahan iklim meningkatkan frekuensi bencana yang sangat drastis.
Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU), di Pondok Pesantren Alhamidiah, Depok, Jawa Barat.
Adapun berdasarkan data BNPB 2010 hingga 2020, tren kenaikan jumlah kejadian bencana alam naik hingga 82 persen.
Suharyanto menyebut hal yang sama terjadi secara global, khususnya sejak 1961.
Sehingga, lanjutnya, benar adanya bahwa peningkatan anomali suhu rata-rata baik di tingkat global maupun nasional menyebabkan meningkatnya frekuensi kejadian bencana, terutama bencana hidrometeorologi.
Berdasarkan penelitian terbaru dari para ilmuwan di Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB, suhu rata-rata sudah 1,1 derajat Celsius lebih tinggi dari angka pada periode 1850-1900.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyebut laju kenaikan suhu dalam setengah abad terakhir ini merupakan yang tertinggi dalam 2.000 tahun.
Sementara itu, layanan iklim Uni Eropa Copernicus 2022 menyebut delapan tahun terakhir (2015-2022) merupakan “delapan tahun terhangat yang pernah tercatat”.
Adapun suhu rata-rata tahunan pada periode yang sama adalah 0,3°C di atas periode 1991-2020, atau 1,2°C lebih tinggi dari periode 1850-1900.
Data yang sama menyebut 2022 menjadi tahun terpanas kelima sejak pencatatan suhu ini dimulai pada abad ke-19.
Lalu di atasnya ada 2016, 2020, 2019, dan 2017.
Tahun 2022 merupakan tahun terhangat kelima, namun tahun terhangat keempat hingga kedelapan sangat berdekatan.
Sedangkan pada lima bulan awal 2023, BNPB mencatat 1.675 kejadian bencana.
Itu didominasi oleh bencana hidrometeorologi, yakni terkait dengan siklus air seperti banjir, longsor, serta kebakaran hutan dan lahan sebesar 99,1 persen.
Suharyanto merincikan 92,5 persen merupakan bencana hidrometeorologi basah dan 6,6 persen bencana hidrometeorologi kering.
Sementara sisanya, merupakan bencana geologi dan vulkanologi.
Suharyanto menilai akar permasalahan bencana hidrometeorologi basah adalah urbanisasi yang memberikan tekanan pada lingkungan di hilir serta alih fungsi lahan baik secara sistematis maupun ilegal.
Hal tersebut, kata Suharyanto, mengurangi kapasitas daya serap, baik karbon maupun air mulai dari hulu hingga hilir.
Menurutnya, urbanisasi dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dalam bentuk pembuangan asap kendaraan, pabrik maupun lainnya, sehingga menyebabkan kualitas udara tidak sehat.
Sementara alih fungsi lahan biasanya menyebabkan pengurangan vegetasi yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan alam dalam menyerap karbon dan meningkatkan kerentanan banjir dan longsor karena air tidak terserap secara optimal.
Dampak dari perubahan iklim tidak hanya terjadi di hulu, peningkatan suhu global memicu tren kenaikan tinggi muka laut.
Hal itu menyebabkan terjadinya peningkatan frekuensi kejadian banjir dari laut atau rob dan diperparah oleh kerusakan ekosistem pesisir.
Menurut catatan BNPB dalam tiga tahun terakhir, bencana banjir rob meningkat 46 persen dari 35 kali kejadian di 2020 menjadi 75 kejadian di 2022.
Selain bencana hidrometeorologi basah, BNPB menyebut bencana hidrometeorologi kering juga mulai terjadi di beberapa wilayah.
Menurutnya, terjadi kenaikan frekuensi kebakaran hutan dari minggu ke minggu, sehingga beberapa daerah sudah menetapkan status siaga darurat.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas lahan terdampak karhutla, khususnya lahan gambut, berbanding lurus dengan emisi karbon yang dilepaskan.
Pada 2019, misalnya, dari 1.64 juta hektare lahan terbakar melepaskan 624 juta ton emisi karbon ke udara.
Suharyanto mengatakan hal tersebut menjadi tantangan bersama.
Di mana fenomena global dan regional telah nyata berdampak pada peningkatan intensitas kejadian dan dampak bencana di tingkat lokal.
Adapun pemanasan global sendiri dipicu oleh peningkatan konsentrasi gas di atmosfer, terutama karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4).
CO2 naik menjadi 417 bagian per sejuta (ppm), yang merupakan level tertinggi dalam lebih dari 2 juta tahun.
Senada, metana juga naik menjadi 1.894 ppm ke tingkat yang tidak terlihat dalam 800 ribu tahun.
Direktur Layanan Pemantauan Atmosfer Copernicus Vincent-Henri Peuch mengatakan konsentrasi atmosfer terus meningkat tanpa ada tanda-tanda melambat.
Adapun dua gas itu dihasilkan dari pemakaian BBM, batu bara, hingga industri peternakan.(Red)
Social Header